Lampu pijar mulai ditanggalkan di Eropa karena sifatnya yang boros energi. Banyak orang tua memberontak.
*HAMBURG *-- Lampu listrik ciptaan Thomas Alfa Edison telah menemani peradaban manusia dan menerangi dunia selama 130 tahun. Kini, krisis energi dan laku perubahan iklim mengharuskan mereka segera pensiun.
Borosnya energi listrik yang digunakannya untuk memanaskan kawat wolfram hingga menghasilkan cahaya yang bisa kita lihat atau nikmati itu menjadi sumber kelemahan bola lampu Edison. Seperti dikatakan Dan Norris, Menteri Lingkungan Inggris, "Kita tidak bisa lebih lama lagi bergantung pada sebuah bohlam yang menyia-nyiakan 95 persen energinya terbuang sebagai panas."
Kebijakan mengucapkan selamat tinggal kepada bola lampu dengan kawat pijar di dalamnya diinisiasi di Eropa. Mulai besok, per 1 September, bola-bola lampu pijar harus berhenti diproduksi di sana. Larangan--kalau dilanggar akan dikenai denda atau hukuman badan--dimulai dengan bohlam berdaya 100 watt yang dianggap sebagai yang paling boros.
Berturut-turut setelah itu, rak-rak toko akan disterilkan dari lampu-lampu halogen dan lampu fluoresens berefisiensi rendah. Target terakhir adalah bohlam 75 dan 60 watt yang tak boleh lagi berpijar per 2012.
Legislasi untuk mengganti bola-bola lampu pijar dengan lampu-lampu /compact fluorescent light/ (CFL) yang lebih hemat energi dan tahan lama disepakati negara-negara anggota Uni Eropa pada Desember lalu. Sponsor utamanya adalah Inggris yang sudah secara sukarela meregenerasi bola-bola lampu di negerinya sejak 2007.
Menurut Norris, penerapan legislasi itu adalah berita baik bagi setiap warga yang akan membayar hingga ratusan dollar lebih murah kebutuhan listriknya setiap tahun. "Ini bahkan berita yang lebih baik lagi bagi bumi karena akan terjadi pemangkasan emisi CO2 sampai sebesar satu ton per tahun per 2020 mendatang," katanya.
Dengan cuma 5 persen energinya yang bisa dikonversi menjadi terang--sisanya terbuang sebagai panas, kebijakan itu tentu saja didukung para pakar. Pihak industri pun bisa dibilang bereaksi positif karena lampu-lampu CFL bukanlah barang baru untuk mereka.
Seperti yang diungkap lewat hasil riset pasar yang dilakukan perusahaan Gfk, penjualan bohlam telah turun 35 persen di triwulan pertama 2009 di beberapa negara Eropa. "Tren besarnya memang efisiensi energi," begitu kata Martin Goetzeler, CEO Osram.
Resistensi justru muncul dari sebagian konsumen. Kebanyakan orang tua di Eropa ternyata masih ada yang tidak rela jika lampu pijar diganti. "Saya tidak suka dengan bola lampu yang baru (CFL) karena terangnya beda," kata Bronwen Jones, 67, dari Merthyr Tydfil, Inggris, yang memborong satu pak berisi 20 bohlam. "Ini mestinya bisa sampai beberapa tahun ke
depan," katanya.
Aksi memborong dan menimbun terutama terjadi di Jerman dan Austria yang justru menunjukkan angka penjualan bohlam yang meningkat dalam periode yang sama. Beberapa pelanggan lanjut usia di supermarket- supermarket di negeri itu seperti berlomba memenuhi kereta belanja mereka dengan bohlam 100 watt yang sudah tidak lama lagi akan "punah" itu.
"Luar biasa. Angka penjualan bohlam 100 watt di toko-toko kami di Hamburg melejit sampai 337 persen," kata Simone Naujoks, juru bicara jaringan toko Max Bahr, seperti dikutip dari harian /Die Welt/.
Di satu tokonya itu, misalnya, ada seorang pria berusia sekitar 50 tahun yang mengaku tak butuh lampu hemat energi. "Kemampuan mata saya tidak sebagus dulu. Lampu-lampu hemat energi itu sia-sia saja karena tidak bisa saya pakai membaca."
Di Jerman memang banyak konsumen mengkritik legislasi baru sebagai trik pabrikan yang ingin mengatrol keuntungan dengan cara mengganti lampu pijar yang murah dengan lampu lain yang lebih mahal. Mereka bahkan menilai CFL yang lebih hemat energi itu tidak cukup terang serta
cahayanya lebih dingin dan kurang nyaman.
Keluhan lain adalah lambat panas dan berkedip lebih sering sehingga menyebabkan sakit kepala. Belum lagi kemungkinan radiasi gas merkuri yang menjadi sumber cahaya lampu.
Khusus tentang kekhawatiran yang terakhir, Nigel Farage, politikus dari Partai Independen, Inggris, mengungkapkan bahwa perdebatannya sudah sampai pada tingkat kepala negara beberapa tahun lalu. "Lampu-lampu itu berisi penuh merkuri yang akan mendatangkan masalah ketika sudah waktunya ribuan dan jutaan dari mereka menjadi timbunan sampah," katanya.
Donnachadh McCarthy, pendiri National Carbon Footprint Day, menyangkal seluruh skenario buruk itu dengan menyatakan bahwa kualitas cahaya lampu CFL tidak berbeda dari bola lampu tradisional. Lampu-lampu baru bahkan bisa lebih hemat energi dan uang. "Hanya karena berbeda bentuk saja lampu-lampu ini tidak diterima dan dianggap sampah," katanya.
Bernward Janzing, kolumnis di Jerman, juga menuding penolakan lebih didasarkan sikap emosional. "Orang-orang yang menimbun bohlam merasa bahwa mereka sedang memberontak melawan otoritas, padahal mereka sedang menunjukkan ketidakmampuan diri menyesuaikan dengan perubahan (iklim)," demikian pernyataan dalam tulisannya. *wuragil/berbagai sumber.
*HAMBURG *-- Lampu listrik ciptaan Thomas Alfa Edison telah menemani peradaban manusia dan menerangi dunia selama 130 tahun. Kini, krisis energi dan laku perubahan iklim mengharuskan mereka segera pensiun.
Borosnya energi listrik yang digunakannya untuk memanaskan kawat wolfram hingga menghasilkan cahaya yang bisa kita lihat atau nikmati itu menjadi sumber kelemahan bola lampu Edison. Seperti dikatakan Dan Norris, Menteri Lingkungan Inggris, "Kita tidak bisa lebih lama lagi bergantung pada sebuah bohlam yang menyia-nyiakan 95 persen energinya terbuang sebagai panas."
Kebijakan mengucapkan selamat tinggal kepada bola lampu dengan kawat pijar di dalamnya diinisiasi di Eropa. Mulai besok, per 1 September, bola-bola lampu pijar harus berhenti diproduksi di sana. Larangan--kalau dilanggar akan dikenai denda atau hukuman badan--dimulai dengan bohlam berdaya 100 watt yang dianggap sebagai yang paling boros.
Berturut-turut setelah itu, rak-rak toko akan disterilkan dari lampu-lampu halogen dan lampu fluoresens berefisiensi rendah. Target terakhir adalah bohlam 75 dan 60 watt yang tak boleh lagi berpijar per 2012.
Legislasi untuk mengganti bola-bola lampu pijar dengan lampu-lampu /compact fluorescent light/ (CFL) yang lebih hemat energi dan tahan lama disepakati negara-negara anggota Uni Eropa pada Desember lalu. Sponsor utamanya adalah Inggris yang sudah secara sukarela meregenerasi bola-bola lampu di negerinya sejak 2007.
Menurut Norris, penerapan legislasi itu adalah berita baik bagi setiap warga yang akan membayar hingga ratusan dollar lebih murah kebutuhan listriknya setiap tahun. "Ini bahkan berita yang lebih baik lagi bagi bumi karena akan terjadi pemangkasan emisi CO2 sampai sebesar satu ton per tahun per 2020 mendatang," katanya.
Dengan cuma 5 persen energinya yang bisa dikonversi menjadi terang--sisanya terbuang sebagai panas, kebijakan itu tentu saja didukung para pakar. Pihak industri pun bisa dibilang bereaksi positif karena lampu-lampu CFL bukanlah barang baru untuk mereka.
Seperti yang diungkap lewat hasil riset pasar yang dilakukan perusahaan Gfk, penjualan bohlam telah turun 35 persen di triwulan pertama 2009 di beberapa negara Eropa. "Tren besarnya memang efisiensi energi," begitu kata Martin Goetzeler, CEO Osram.
Resistensi justru muncul dari sebagian konsumen. Kebanyakan orang tua di Eropa ternyata masih ada yang tidak rela jika lampu pijar diganti. "Saya tidak suka dengan bola lampu yang baru (CFL) karena terangnya beda," kata Bronwen Jones, 67, dari Merthyr Tydfil, Inggris, yang memborong satu pak berisi 20 bohlam. "Ini mestinya bisa sampai beberapa tahun ke
depan," katanya.
Aksi memborong dan menimbun terutama terjadi di Jerman dan Austria yang justru menunjukkan angka penjualan bohlam yang meningkat dalam periode yang sama. Beberapa pelanggan lanjut usia di supermarket- supermarket di negeri itu seperti berlomba memenuhi kereta belanja mereka dengan bohlam 100 watt yang sudah tidak lama lagi akan "punah" itu.
"Luar biasa. Angka penjualan bohlam 100 watt di toko-toko kami di Hamburg melejit sampai 337 persen," kata Simone Naujoks, juru bicara jaringan toko Max Bahr, seperti dikutip dari harian /Die Welt/.
Di satu tokonya itu, misalnya, ada seorang pria berusia sekitar 50 tahun yang mengaku tak butuh lampu hemat energi. "Kemampuan mata saya tidak sebagus dulu. Lampu-lampu hemat energi itu sia-sia saja karena tidak bisa saya pakai membaca."
Di Jerman memang banyak konsumen mengkritik legislasi baru sebagai trik pabrikan yang ingin mengatrol keuntungan dengan cara mengganti lampu pijar yang murah dengan lampu lain yang lebih mahal. Mereka bahkan menilai CFL yang lebih hemat energi itu tidak cukup terang serta
cahayanya lebih dingin dan kurang nyaman.
Keluhan lain adalah lambat panas dan berkedip lebih sering sehingga menyebabkan sakit kepala. Belum lagi kemungkinan radiasi gas merkuri yang menjadi sumber cahaya lampu.
Khusus tentang kekhawatiran yang terakhir, Nigel Farage, politikus dari Partai Independen, Inggris, mengungkapkan bahwa perdebatannya sudah sampai pada tingkat kepala negara beberapa tahun lalu. "Lampu-lampu itu berisi penuh merkuri yang akan mendatangkan masalah ketika sudah waktunya ribuan dan jutaan dari mereka menjadi timbunan sampah," katanya.
Donnachadh McCarthy, pendiri National Carbon Footprint Day, menyangkal seluruh skenario buruk itu dengan menyatakan bahwa kualitas cahaya lampu CFL tidak berbeda dari bola lampu tradisional. Lampu-lampu baru bahkan bisa lebih hemat energi dan uang. "Hanya karena berbeda bentuk saja lampu-lampu ini tidak diterima dan dianggap sampah," katanya.
Bernward Janzing, kolumnis di Jerman, juga menuding penolakan lebih didasarkan sikap emosional. "Orang-orang yang menimbun bohlam merasa bahwa mereka sedang memberontak melawan otoritas, padahal mereka sedang menunjukkan ketidakmampuan diri menyesuaikan dengan perubahan (iklim)," demikian pernyataan dalam tulisannya. *wuragil/berbagai sumber.
Sumber :
TEMPO ( http://www.korantempo.com )
0 komentar:
Posting Komentar