Tahun ini, demokrasi lokal kembali bergeliat melalui rangkaian penyelenggaraan 244 pilkada. Posisi birokrasi daerah ternyata tidak bersikap dalam pilkada. Seperti apa faktanya? Berikut ulasan Wawan Sobari, peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
LIPI pernah merilis hasil studi tentang netralitas birokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung 2005. Penelitian itu menyebutkan sejumlah faktor yang mendorong birokrasi berpolitik dalam pilkada. Di antaranya, kepentingan pegawai negeri sipil (PNS) untuk memobilisasi karirnya secara cepat, kuatnya hubungan patron-client, dan adanya peran birokrasi bayangan (shadow bureaucracy).
Keinginan untuk memperoleh jabatan membuat PNS mau berspekulasi menjadi bagian dari tim sukses. Dengan harapan, seandainya kandidat yang didukung menang, para birokrat tersebut mendapatkan keuntungan perolehan jabatan. Demi balas budi, biasanya kenaikan pangkat tersebut bisa menabrak aturan kepangkatan.
Birokrasi bayangan itu biasanya terdiri atas pengusaha, kontraktor, ormas, dan LSM yang menjadi kelompok pemenangan kandidat. Menurut tim peneliti LIPI, dalam praktiknya, kelompok bayangan bertindak sebagai penyandang dana dan pendukung kampanye. Sebagai imbalan, mereka memperoleh ''perlindungan politik'', pasokan dana, serta lisensi atau tender proyek pascapilkada.LIPI pernah merilis hasil studi tentang netralitas birokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung 2005. Penelitian itu menyebutkan sejumlah faktor yang mendorong birokrasi berpolitik dalam pilkada. Di antaranya, kepentingan pegawai negeri sipil (PNS) untuk memobilisasi karirnya secara cepat, kuatnya hubungan patron-client, dan adanya peran birokrasi bayangan (shadow bureaucracy).
Keinginan untuk memperoleh jabatan membuat PNS mau berspekulasi menjadi bagian dari tim sukses. Dengan harapan, seandainya kandidat yang didukung menang, para birokrat tersebut mendapatkan keuntungan perolehan jabatan. Demi balas budi, biasanya kenaikan pangkat tersebut bisa menabrak aturan kepangkatan.
Dua faktor itulah yang kemudian mendorong terciptanya hubungan patron-client. Sebagai patron, kandidat terpilih memberikan kemudahan akses terhadap sumber daya finansial dan nonfinansial. Giliran client yang sebelumnya menjadi pendukung berubah menjadi penerima manfaat dari pilihan-pilihan kebijakan kandidat terpilih selama menjabat.
Setelah rangkaian pilkada 2005, sejumlah studi mengidentifikasi fakta-fakta keterlibatan politik birokrasi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Salah satunya studi Indonesia Corruption Watch (ICW). Bersama jaringan kerja di empat daerah (Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta), ICW menemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan selama Pemilu 2009.
Pelibatan birokrasi terjadi dalam bentuk mobilisasi pengawai negeri sipil (PNS). Modus tersebut paling sering ditemukan. Modus lain berupa penggunaan kendaraan dinas, pelibatan pejabat daerah, penggunaan rumah ibadah, penggunaan rumah dinas, dan penggunaan program populer pemerintah (raskin).
Lebih dramatis lagi merujuk pada temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hingga awal Mei, lembaga pengawas tersebut menemukan 1.599 pelanggaran pilkada 2010. Semua dihimpun berdasar temuan pada 16 pilkada yang telah dilangsungkan.
Di antara sekian banyak kasus tersebut, ditemukan keterlibatan birokrasi. Yakni, berupa penyalahgunaan fasilitas negara dan mobilisasi PNS. Berarti, masih akan ditemukan bentuk-bentuk ketidaknetralan birokrasi pada 228 pilkada lainnya sepanjang 2010.
Keterlibatan birokrasi dalam pilkada tentunya bertentangan dengan hukum negara yang menganut netralitas. Kekhawatiran munculnya subjektivitas birokrasi dalam pengambilan kebijakan dan pelayanan publik menjadi alasan utama. Karena itu, pelanggaran tersebut perlu disikapi serius dan ditindaklanjuti dengan sanksi administratif dan pidana yang adil.
Motif keterlibatan birokrasi dalam tim sukses pilkada demi meraih jabatan menjadikannya sebagai aktor. Sebab, birokrasi secara sadar menjadi bagian dari koalisi pemenangan kandidat. Birokrat tersebut rela bila program dan kegiatannya didompleng kepentingan politik yang berpotensi mengakumulasi dukungan publik terhadap kandidat kepala daerah.
Dalam kenyataannya, birokrasi sekaligus merupakan korban ketidaknetralan dalam pilkada. Sebagai korban, birokrasi dipaksa untuk tidak netral karena dipaksa ikut oleh atasannya untuk mendukung salah satu kandidat.
Korban lainnya adalah birokrat netral. Karena konsistensinya, jabatan mereka pada dinas, badan, dan kantor daerah tergusur, kemudian digantikan oleh birokrat yang masuk dalam koalisi pemenangan kandidat terpilih.
Netralitas birokrasi diperparah oleh pencalonan incumbent dalam pilkada. Kepala daerah atau wakil kepala daerah yang mencalonkan kembali memiliki akses strategis untuk menentukan pos-pos jabatan dalam birokrasi, sehingga memaksa PNS untuk tidak netral.
Sebagai korban, birokrasi akan terbelah tatkala dua incumbent maju kembali dalam pilkada berikutnya, namun tidak berpasangan. Saat salah satu kandidat incumbent kalah, birokrasi akan jadi korban persaingan tersebut. Butuh waktu untuk mengembalikan soliditas di antara PNS.
Faktanya, hingga pertengahan Mei 2010, 18 pilkada sudah digelar. Diawali di Kebumen, kemudian diikuti di Surakarta, Rembang, Boyolali, Kota Semarang, Serang, Kota Cilegon, Kutai Kartanegara, Buton Utara, Badung, Bangli, Kota Denpasar, Karangasem, Tabanan, Kota Ternate, Ngawi, dan Kabupaten Kediri. Di antara jumlah tersebut, setidaknya 10 daerah mengikutsertakan incumbent sebagai kandidat dan dua keluarga incumbent maju untuk bertarung dalam pilkada.
Sumber :
JAWA POS ( http://www.jawapos.co.id )
0 komentar:
Posting Komentar