Dunia Kami Lain

Oleh Rizki Lukitasari

MATAHARI yang tak pernah lengah terus berusaha membuat kulitku terbakar. Padahal, sekarang yang tersisa dari kulitku hanya peluh dan daki yang terus menghitam menutupi kulitku yang legam. Rambutku yang kusut kuikat dengan karet seadanya yang kutemukan di jalanan.

Hanya ada satu hal yang membuatku merasa mampu mengalahkan matahari dan berjalan tanpa beban, yaitu saljuku. Salju yang kini tengah tertidur dengan wajah tak berdosa di punggungku, terikat kain yang sudah berwarna kusam dan penuh kotoran hitam.

Bocah laki-laki itu bernama Didit, adikku yang kini berumur 2 tahun 2 bulan. Dia sedang memeluk leherku dan wajah malaikatnya tertunduk di bahuku meneteskan air liur di lengan bajuku. Wajahnya tidak beda jauh dariku. Hitam karena daki, rambut kusut dan berwarna kemerahan karena matahari, serta pipinya yang gembul penuh dengan debu yang menghitam.

Aku menyayanginya lebih daripada apa pun di dunia ini karena cuma dia harta yang aku punya. Yah, tentunya selain rumah kardus, selimut robek, bajuku yang mirip kain pel, dan sandal jepit yang aku ikat dengan tali di sana-sini agar tidak rusak untuk yang ke sekian.
Aku sendiri berumur 12 tahun. Baru saja kemarin aku merayakannya bersama adikku tersayang, Didit, di bawah pohon randu besar yang letaknya dekat rumah kardus kami. Kami makan malam dengan satu potong pisang goreng yang kami temukan terjatuh di samping rombong penjual gorengan.

Makanan tersebut cukup mewah untuk kami jika dibandingkan dengan makanan kami sehari-hari yang hanya kerupuk. Itu pun jika kami punya uang lebih untuk membeli kerupuk yang masih bagus. Sebab, biasanya jika uang kami kurang, kami hanya memakan kerupuk yang sudah tidak bisa digigit lagi.

Di hadapan makan malam kami yang mewah itu, aku dan Didit mengucapkan doa yang selalu kami panjatkan sebelum makan.

"Terima kasih untuk makanan mewah ini Tuhan, makanan yang Kau kirimkan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-12. Semoga makanan kami malam ini mendapatkan berkah dan hidayah-Mu. Amiin".

Pisang goreng yang lumayan besar itu cukup mengundang selera makan kami. Bahkan, Didit berkali-kali berusaha meraihnya dari tanganku.

"Mbak Melly tiup lilin dulu ya Dit biar kayak di TV-TV itu loh. Nanti Mbak mau buat permohonan dulu, baru pisang gorengnya dimakan bareng-bareng. Yah?"

Aku memejamkan mataku dan berusaha membayangkan pisang goreng tersebut adalah kue tar besar yang berwarna-warni dan ada 12 lilin menyala di atas kue tersebut. "Fuuhhh"

Aku membuka mata dan melihat Didit duduk manis di hadapanku. Dia menatapku lama, kemudian merangkak ke arahku, berusaha untuk memeluk leherku. Aku mendengarnya berbisik di telingaku.

"Mmm... eeee... iii"

Mataku berkaca-kaca mendengar Didit mengucapkan kata pertamanya. Dan, itu adalah namaku. Meski kurang huruf "L" di tengahnya, itu adalah kado terindah yang pernah aku dapatkan. Akhirnya, yang memakan pisang goreng itu hanya Didit karena dia butuh gizi yang lebih banyak. Sedangkan, aku cukup meminum air putih sambil melihatnya memakan dengan lahap pisang goreng yang aku temukan tadi sore tersebut. Bagiku, itu sudah sangat kenyang, kenyang akan kebahagiaan.

Esoknya kami kembali berjalan menuju rumah Bu Sri yang sudah dua tahun ini mau memberi kami pekerjaan. Meski dia sendiri hanya janda dengan lima orang anak dan seorang buruh cuci, hatinya baik sekali. Dia mau memberi kami pekerjaan, meskipun dia sendiri kekurangan.

Tugasku di rumah hanya menjaga lima orang anaknya yang masih kecil-kecil agar tidak berkeliaran di luar rumah sampai Bu Sri pulang. Aku dibayar air minum bersih dan sebotol susu untuk Didit per hari. Satu hal kenapa aku mau bekerja di rumah Bu Sri, yaitu aku pantang meminta uang atau mengemis di jalanan seperti kebanyakan anak-­anak seumurku yang tinggal di dekat rumahku.

Aku merasa malu harus menggunakan adikku sebagai penarik iba dan rasa kasihan dari orang lain. Setidaknya dengan bekerja di rumah Bu Sri, adikku bisa tidur di lantai yang dingin dan minm susu botol sebagai imbalan kami menjaga rumah Bu Sri.

Kami kembali ke rumah pukul satu siang menuju rumah kardus kami tercinta. Kami melewati toko elektronik yang menjual banyak sekali televisi yang menayangkan gambar berwarna-warni. Aku berhenti sebentar di depan salah satu televisi yang dipasang menghadap keluar sehingga kami bisa melihat gambar televisi itu tanpa perlu masuk ke dalam toko elektronik tersebut.

Didit terlihat tertarik dengan salah satu televisi yang menayangkan gambar seorang anak perempuan yang sangat cantik sedang bermanja­-manja dengan ayahnya yang akan berangkat ke kantor. Gadis itu merengek-rengek minta mobil pada ayahnya.

''Apaaa??!! Minta mobil?? Ckckck,'' aku berdecak iri, sementara Didit terus berusaha menyentuh televisi tersebut.

''Kata teman Mbak yang punya TV, itu namanya sinetron, Dit. Itu dunia orang kaya, beda sama dunia kita. Jadi, jangan sering-sering nonton sinetron. Nanti kamu jadi pemimpi yang bisanya cuma berkhayal tanpa usaha."

Aku melanjutkan perjalanan ke rumah, sementara Didit terus merengek minta kembali ke tempat televisi tadi.

"Sudahlah Dit, dunia kita lain sama dunia yang ada di TV itu. Jangan mimpi, kamu! Ayo, kita pulang ke dunia kita ya, sayang." Dan, Didit menangis.

Penulis adalah pelajar Universitas Airlangga Surabaya

Sumber :

0 komentar: